Minggu, 06 Januari 2013

Balada Mainan Tradisional

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer
Tangan-tangan renta itu masih cekatan melipat atau menggunting kertas-kertas bekas untuk dibentuk menjadi mainan. Meski sesekali jari-jari itu terlihat gemetar, namun satu persatu mainan selesai dibuat. Di dusun Pandes, desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul DIJ mainan-mainan tradisonal seperti Kitiran, Wayang Kertas, Angkrek, Klontongan, Kurungan, Payungan dan Otok-otok masih lestari. Meski gempuran permainan modern terus datang bertubi-tubi dan tak dapat dibendung lagi, para perajin uzur di dusun tersebut masih saja terus berkarya. Mereka adalah Mbah Karto Utomo, Mbah Rejo Utomo, Mbah Atemo Wiyono, Mbah Joyo Sumarto, Mbah Suwardiyono dan yang paling muda adalah Aminah yang berusia separuh abad dari nama-nama sebelumnya. Mainan-mainan tersebut dibandrol mulai Rp 1.000 hingga Rp 3.500 rupiah. Jika pada usia muda dulu mereka mampu menjualnya keliling dengan bersepeda, kini mereka menggantungkan pada sekolah-sekolah yang kebetulan berkunjung ke Pojok Budaya dan membeli karya mereka di dusun itu. Hambatan ekonomi seringkali memang mengalahkan tradisi. Mungkin karena itulah anak-anak mereka enggan untuk melanjutkan usaha membuat mainan tradisional. ‘Membuat mainan seperti ini kalau zaman sekarang tidak bisa untuk mencukupi hidup sehari-hari. Anak-anak sekarang tentu lebih memilih bekerja di pabrik atau menjadi karyawan,” ujar Mbah Atemo dengan bahasa Jawa.

Minggu, 29 Juli 2012

SEPAKBOLA API

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer
Sejumlah santri dari Pesantren Nailul Ula, Plosokuning, Sleman, DIY, Kamis (26/7/2012) malam, tengah bermain sepakbola api di depan sekolah mereka usai melaksanakan salat Taraweh.Bermain sepakbola api merupakan tradisi di sebagian Pesantren di Jawa yang bertujuan untuk melatih fisik dan mental para santri agar mereka tetap semangat dalam menyambut datangnya bulan Ramadan.

Sabtu, 21 Juli 2012

PESONA WARNA DALAM BUSANA

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer
Busana atau fashion tak sekedar sebatas penutup tubuh. Lebih jauh lagi, ia merupakan gaya hidup yang diejawantahkan dalam aksesoris, pakaian, bahkan tatanan rambut dan makeup. Gambaran seperti itu terlihat saat Fashion On The Street yang dimulai dari Dinas Pariwisata DIJ di jalan Malioboro hingga Benteng Vredeburg, Jogjakarta beberapa waktu yang lalu. Ribuan Warga berduyun-duyun memadati ruas jalan tersebut untuk menyaksikan pesona dan keanggunan busana yang dikenakan para peserta Fashion On The Street. Pawai yang diikuti oleh 20 kelompok asal Jogja dan sekitarnya itu menyuguhkan aneka kostum warna-warni dari bahan dan hasil budaya serta tradisi bangsa. Dengan mengusung tema "Gempita Sukma Raya" karnaval tersebut bertujuan untuk mengeksplorasi kekayaan nusantara, budaya dan tradisi sebagai inspirasi mengenai fashion bagi para desainer dan masyarakat umum.

Kamis, 17 November 2011

JAMU CEKOK KULON KERKOP

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer


Meski ilmu pengobatan di zaman sekarang sudah canggih, namun masih banyak masyarakat memilih cara tradisional untuk mengobati anaknya. Setidaknya, itulah yang terlihat di warung Jampi Asli Kulon Kerkop yang berada di jalan Brigjen Katamso 132, Jogjakarta.

Sejak pukul 06.00 hingga 19.30, satu persatu warga mulai datang untuk mencekok anaknya di warung yang didirikan alm Kertowiryo Raharjo pada 1875 itu. Mereka percaya ramuan jamu Cekok bikinan Zaelali (78) tersebut mampu menumbuhkan nafsu makan anak.

Tak hanya itu saja, jamu yang terbuat dari campuran Temulawak, Lempuyang Emprit, Brotowali, Temu Ireng serta Pepaya tersebut juga diyakini mampu membunuh cacing dalam perut anak.

Istilah Cekok sendiri dalam bahasa Indonesia berarti meminumkan jamu secara paksa kepada anak. Biasanya, jamu cekok disajikan dengan dibungkus kain sebelum dijejalkan dan diperas ke dalam mulut si anak. "Pemaksaan" itu harus dilakukan karena rasa jamu Cekok sangat pahit dan biasanya tidak disukai anak-anak.

Untuk satu paket jamu Cekok di warung yang terletak di sebelah barat bangunan bekas (kuburan(Kerkhof; Belanda, sekarang menjadi Purawisata) itu hanya Rp. 3.000,-. Menurut Zaelali, ia tidak mengambil keuntungan besar dari usahanya itu. Hanya Rp. 300,- saja untuk setiap bungkusnya. Sebab, bagi Zaelali, usahanya bisa jalan saja sudah cukup. Apalagi, dia juga ingin membantu anak-anak yang sakit lewat obat tradisional dan sekaligus semata-mata untuk melestarikan warisan nenek moyangnya.

Jumat, 04 November 2011

RAMADAN DI PESANTREN SENIN-KAMIS

Get the flash player here: http://www.adobe.com/flashplayer


Lantunan Ayat-ayat suci Al Quran menggema di dalam ruangan sekitar 4 x 6 meter di ponpes khusus waria Senin-Kamis, Rabu (3/8) malam. Tausiah dari ustazd Murtijo usai tarawih malam itu kian meneguhkan keyakinan para santri waria bahwa beribadah (salat, puasa dll) serta berkorban karena Allah SWT akan memberikan banyak kenikmatan bagi mereka yang beriman.

Setiap Ramadhan datang, ponpes yang terletak di jalan Notoyudan GT II/1294, RT 85/RW 24 Jogjakarta itu banyak diisi dengan kegiatan keagamaan seperti buka puasa bersama, salat tarawih berjamaah dan tadarus.

"Sejak awal didirikan pada tahun 2008, ponpes ini sengaja untuk menampung para waria yang punya keinginan belajar dan memperdalam agama sekaligus menjalankan ibadah. Sebab, seringkali jika mereka berbaur di tempat umum malah menjadi ejekan," terang Maryani (51) pendiri ponpes Senin-Kamis.

Namun, ada yang berkurang pada ramadhan kali ini. Jika dulu ponpes mampu mengundang hingga lima orang ustadz dalam sehari untuk memberikan tausiah. Bulan puasa tahun ini ponpes hanya mampu mendatangkan seorang ustadz saja. Minimnya anggaran dan bantuan dana menjadi kendala utama di ponpes itu.

"Untuk biaya sehari-hari saja susah. Namun, selain ada donatur kecil-kecilan, para pengurus dan santri di sini mengadakan arisan. Bagi yang dapat arisan nanti dipotong 10 persen untuk pesantren." Ujar Yuni Shara (44) sekretaris PP Senin-Kamis.