Minggu, 14 Februari 2010

Inside Hong Tiek Hian



Tipis-tipis asap putih mulai beterbangan di udara. Dalam sekejab saja wewangi hio telah menyebar ke seluruh ruangan di dalam klenteng Hong Tiek Hian yang berada di jalan Dukuh, Surabaya.

Siang itu, sejumlah umat Kong Hu Cu tengah khusuk melakukan sembahyang, mengharap keberkahan dan keberuntungan menjelang tahun macan.
Pada saat yang sama, dari dalam sebuah ruangan berukuran 4x4 meter, terdengar suara-suara gembreng, tambur dan bek to yang dipadu dengan gesekan erhu untuk mengiringi pertunjukan wayang potehi.

Potehi berasal dari bahasa mandarin. Kata poo berarti kain, tay yang berarti kantung, dan hie berarti wayang atau boneka. Dalam kebudayaan masyarakat etnis Tionghoa, wayang potehi tak hanya dipandang sebagai seni pertunjukan belaka, namun juga memiliki fungsi sosial dan ritual. Karena itu, biasanya, seorang dalang yang memainkan satu lakon wayang potehi di dalam klenteng baru bisa menuntaskan ceritanya setelah berhari-hari, bahkan bisa sampai satu setengah bulan.

"Wayang potehi yang dimainkan di dalam kelenteng ini merupakan pertunjukan untuk para dewa, jadi kami tetap akan memainkannya meski tidak ada yang menonton sama sekali," terang Sukar Mudjiono, 49 tahun, seorang dalang yang menyukai potehi sejak kecil.